Kawasan Glodok, Jakarta, menyimpan sejarah yang panjang. Kawasan yang saat ini menjadi pusat bisnis ternyata dulunya merupakan bekas tempat isolasi kaum Tionghoa.
Kini Glodok menjadi kawasan Pecinan dan sebagai pusat perdagangan. Sebelumnya, bagaimana cerita awal namanya bisa menjadi Glodok?
“Awalnya, karena dahulu daerah sini dikelilingi oleh banyak kicir air yang bunyinya glojok-glojok, hingga pada akhirnya diplesetin menjadi Glodok, dan diberi nama lah Glodok sebagai nama kawasan ini,” kata Ira Lathief, salah satu pemandu wisata acara "Jakarta Food Adventure", saat berkunjung ke kawasan Glodok, Jakarta, Minggu (7/2/2016).
Sebagai Pecinan, kawasan Glodok mayoritas dihuni oleh warga keturunan Tionghoa. Kebanyakan dari mereka bersama keluarganya bermukim di bagian lantai atas. Sedangkan di lantai bawah, mereka manfaatkan menjadi ruang usaha. Bisa dikatakan, itulah gaya hidup orang Tionghoa yang tidak suka hidup boros.
Bila diperhatikan, nama-nama jalan di kawasan Glodok banyak mengandung nilai positif, seperti Kemenangan, Kesehatan, Kebahagiaan. Orang Tionghoa percaya, pemberian nama yang bagus, perubahan yang bagus, akan mengantarkan mereka ke kehidupan yang lebih bagus pula.
Beberapa sisa-sisa bangunan yang terlihat di wilayah pecinan pun di antaranya Rumah Saudagar Tembakau dan sejumlah toko yang sudah ratusan tahun, tak juga ketinggalan Pasar Petak Sembilan.
Perjalanan bersama "Jakarta Food Adventure" pun dimulai melewati sebuah pasar tradisional dengan nuansa China. Perjalanan juga melewati kawasan Gloria yang terkenal dengan ragam jenis kuliner.
Kini Glodok menjadi kawasan Pecinan dan sebagai pusat perdagangan. Sebelumnya, bagaimana cerita awal namanya bisa menjadi Glodok?
“Awalnya, karena dahulu daerah sini dikelilingi oleh banyak kicir air yang bunyinya glojok-glojok, hingga pada akhirnya diplesetin menjadi Glodok, dan diberi nama lah Glodok sebagai nama kawasan ini,” kata Ira Lathief, salah satu pemandu wisata acara "Jakarta Food Adventure", saat berkunjung ke kawasan Glodok, Jakarta, Minggu (7/2/2016).
Sebagai Pecinan, kawasan Glodok mayoritas dihuni oleh warga keturunan Tionghoa. Kebanyakan dari mereka bersama keluarganya bermukim di bagian lantai atas. Sedangkan di lantai bawah, mereka manfaatkan menjadi ruang usaha. Bisa dikatakan, itulah gaya hidup orang Tionghoa yang tidak suka hidup boros.
Bila diperhatikan, nama-nama jalan di kawasan Glodok banyak mengandung nilai positif, seperti Kemenangan, Kesehatan, Kebahagiaan. Orang Tionghoa percaya, pemberian nama yang bagus, perubahan yang bagus, akan mengantarkan mereka ke kehidupan yang lebih bagus pula.
Beberapa sisa-sisa bangunan yang terlihat di wilayah pecinan pun di antaranya Rumah Saudagar Tembakau dan sejumlah toko yang sudah ratusan tahun, tak juga ketinggalan Pasar Petak Sembilan.
Perjalanan bersama "Jakarta Food Adventure" pun dimulai melewati sebuah pasar tradisional dengan nuansa China. Perjalanan juga melewati kawasan Gloria yang terkenal dengan ragam jenis kuliner.
Di Pasar Petak Sembilan, dibagi menjadi dua bagian, yakni bagian kering dan bagian basah. Bagian basah terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, dan daging. Sedangkan untuk bagian kering, terdapat ragam jenis kue, permen, camilan.
Uniknya, di pasar ini juga dapat ditemukan penjual yang tidak biasa ditemui di pasar lainnya. Seperti pedagang yang menjual daging swike alias kodok hingga bulus.
Uniknya, di pasar ini juga dapat ditemukan penjual yang tidak biasa ditemui di pasar lainnya. Seperti pedagang yang menjual daging swike alias kodok hingga bulus.
Menyusuri Pasar Petak Sembilan, terdapat sebuah kelenteng yang bisa dikatakan sebagai kelenteng tertua yang berada di kawasan Jakarta. Terletak di Jalan Kemenangan III, kelenteng Dharma Bhakti didirikan pada tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen yang dahulunya diberi nama Koan-Im Teng.
Kelenteng ini merupakan salah satu dari empat kelenteng besar yang berada di bawah pengelolaan Kong Koan atau Dewan Tionghoa. Keempat kelenteng itu adalah Kelenteng Goenoeng Sari, Kelenteng Toa Peh Kong (di Ancol), Kelenteng Jin De yuan sendiri serta kelenteng Hian Thian Shang Te Bio di Tanah Tandjoeng (sekarang sudah musnah).
“Dharma Bhakti merupakan nama Indonesia-nya, tapi orang sini masih menyebutnya dengan Jin De Yuan. Dan siapakah yang menjadi dewi utama di sini? Yakni Dewi Koan-Im (Dewi Welas Asih). Karena pada saat peristiwa Tragedi Pembantaian Angke, hanya patung itu yang tersisa,” jelas Idfi Pancani, pemandu wisata "Jakarta Food Adventure".
Selanjutnya, bila Anda melihat gereja dengan gaya arsitektur yang khas, itu merupakan Gereja Santa Maria De Fatima. Gereja ini dibangun dalam bentuk gedung besar kediaman seorang pejabat Tionghoa dengan bentuk atap ian boe heng (ekor walet) dan dikawal sepasangshi shi (singa batu).
Salah satu keistimewaan dari gereja ini adalah adanya inskripsi dalam bentuk aksara Tionghoa. Di bagian bubungan atap tertera daerah asal pemiliknya yang terdahulu yaitu kabupaten Nan An, keresidenan Quanzhou, provinsi Fujian. Inskripsi lain juga di bagian bubungan atap yaitu "fu shou, kang, ning" yang artinya rezeki, umur panjang, kesehatan dan ketentraman.
Kelenteng ini merupakan salah satu dari empat kelenteng besar yang berada di bawah pengelolaan Kong Koan atau Dewan Tionghoa. Keempat kelenteng itu adalah Kelenteng Goenoeng Sari, Kelenteng Toa Peh Kong (di Ancol), Kelenteng Jin De yuan sendiri serta kelenteng Hian Thian Shang Te Bio di Tanah Tandjoeng (sekarang sudah musnah).
“Dharma Bhakti merupakan nama Indonesia-nya, tapi orang sini masih menyebutnya dengan Jin De Yuan. Dan siapakah yang menjadi dewi utama di sini? Yakni Dewi Koan-Im (Dewi Welas Asih). Karena pada saat peristiwa Tragedi Pembantaian Angke, hanya patung itu yang tersisa,” jelas Idfi Pancani, pemandu wisata "Jakarta Food Adventure".
Selanjutnya, bila Anda melihat gereja dengan gaya arsitektur yang khas, itu merupakan Gereja Santa Maria De Fatima. Gereja ini dibangun dalam bentuk gedung besar kediaman seorang pejabat Tionghoa dengan bentuk atap ian boe heng (ekor walet) dan dikawal sepasangshi shi (singa batu).
Salah satu keistimewaan dari gereja ini adalah adanya inskripsi dalam bentuk aksara Tionghoa. Di bagian bubungan atap tertera daerah asal pemiliknya yang terdahulu yaitu kabupaten Nan An, keresidenan Quanzhou, provinsi Fujian. Inskripsi lain juga di bagian bubungan atap yaitu "fu shou, kang, ning" yang artinya rezeki, umur panjang, kesehatan dan ketentraman.
Lalu, ada sebuah gang sempit yang ramai dan padat akan obyek-obyek menarik, seperti toko pembuat kaligrafi Tionghoa, Pabrik Roti Valnia, aneka pedagang makanan, pedagang kancing hias, pedagang pia Lau Beijing, pedagang makanan vegetarian, dan ada Warung Mie Belitung yang tutup bila menjelang hari tahun baru Imlek.
Menyeberangi jalan Pancoran, lanjut menuju Gang Gloria. Gang ini resmi bernama Jalan Pintu Besar Selatan III Nomor 4-6 Pancoran, Glodok. Di pintu masuknya, ditandai dengan ragam pedagang permen dan manisan khas Tionghoa.
Di gang ini, Anda bisa menemukan ragam pedagang makanan khas Tionghoa, Sup Pi Oh (sup yang berbumbu Tauco dengan bahan baku dari hewan Labi-labi atau Bulus), Kopi Tak Kie, Soto Betawi, pedagang buah-buahan, Toko Kawi, dan Gloria Foodcourt.
Bila Anda berkunjung ke Gloria Foodcourt, jangan lupa untuk mencicipi Mie Kangkung Si Jangkung yang sangat terkenal.
Menyeberangi jalan Pancoran, lanjut menuju Gang Gloria. Gang ini resmi bernama Jalan Pintu Besar Selatan III Nomor 4-6 Pancoran, Glodok. Di pintu masuknya, ditandai dengan ragam pedagang permen dan manisan khas Tionghoa.
Di gang ini, Anda bisa menemukan ragam pedagang makanan khas Tionghoa, Sup Pi Oh (sup yang berbumbu Tauco dengan bahan baku dari hewan Labi-labi atau Bulus), Kopi Tak Kie, Soto Betawi, pedagang buah-buahan, Toko Kawi, dan Gloria Foodcourt.
Bila Anda berkunjung ke Gloria Foodcourt, jangan lupa untuk mencicipi Mie Kangkung Si Jangkung yang sangat terkenal.
(Ersianty Peginusa Wardhani/Kompas.com)
Post a Comment